Sosok Nietzsche dikenal dengan
pemikiran yang sangat unik dalam menanggapi fenomena kemanusiaan yang terjadi
pada era abad ke-18. Dalam beberapa sumber tertentu sosok Nietzsche dikenal
dengan pengaruh radikalnya. Oleh beberapa sebab, karya-karyanya bersifat
ambiguitas dalam menanggapi fenomena kemanusiaan yang terjadi. Dari buah
karyanya, Nietzsche menjadi orang yang berpengaruh pada pemikiran
post-moderenisme. Dibalik itu, seperti yang tampak dalam sifat ego Nietzsche,
filsafatnya juga salah satu pendobrak awal pemikiran eksistensi yang
dikembangkan oleh para tokoh-tokoh kontemporer.
Gaya filsafatnya amat khas, yakni
mengkritik segala sesuatu dan menyampaikan gagasan filosofis dengan gaya yang
tidak lazim. Ia hadir sebagai semacam penentang kemapanan, baik dalam gaya
bahasa, sejarah, kebudayaan, bahkan nantinya pada kemapanan hidupnya. Dalam
bahasa misalnya tidak memakai gaya filsuf yang pernah mengenyam persekolahan,
ia memakai bahasa sehari-hari bak seorang pakar untuk mengungkapkan apa pun
yang ia katakana. Ia berwatak informal, bergairah, aforistis.
Nietzsche mengembangkan filsafat
etika berdasarkan teori evolusi. Baginya, kalau hidup adalah perjuangan untuk
bereksistensi dimana organism yang paling pantas untuk bereksistensi hiduplah
yang berhak untuk terus melangsungkan kehidupannya, maka kekuatan adalah
kebajikan yang utama dan kelemahan adalah keburukan yang memalukan. Yang baik
adalah yang mampu melangsungkan kehidupan, yang berjaya, dan menang. Yang buruk
adalah yang tidak bisa bertahan, yang terpuruk, dan kalah.
Kehendak Untuk Berkuasa
Konsep terpenting dalam buah
karya yang melekat erat dalam beberapa tulisannya adalah “will to power”. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa
Nietzsche mengembangkan konsep inti dari Schopenhauer dari kehidupan Yunani
Kuno yang mengadopsi gagasan-gagasan timur. Berkesimpulan, bahwa alam semesta
dikendalikan oleh kehendak buta. Nietzsche dalam study mencari gagasan Yunani
Kuno telah menyimpulkan bahwa kekuatan yang menjadi pendorong peradaban
semata-mata adalah langkah untuk mencari kekuatan tertinggi (absolute) dalam
mencari sebuah kekuasaan. Hal ini dipertegas Nietzsche yang tertulis dalam buku
terjemahan karya Walter Kaufman, dan R.J. Hollingdale sebagai berikut :
“Dunia ini adalah kehendak untuk berkuasa dan tidak ada yang lainnya!
Kaulah sendiri yang menjadi kehendak untuk berkuasa ini dan tidak ada lagi yang
lainnya!”
Dari kesimpulan Nietzsche
mengenai “Will to Power” adalah bahwa
manusia terdorong oleh suatu “kehendak untuk berkuasa”. Dengan kata lain,
jantung pergerakan tindakan yang dilakukan manusia tidak lepas dari suatu
kehendak. Gagasan-gagasan ini juga meliputi beberapa aspek perasaan kerendahan
hati, cinta, dan kewelas asihan (keibaan, compassion). Tetapi, fakta yang sebenarnya
memperlihatkan bahwa hal ini tak lebih hanyalah suatu penyamaran yang cerdik
dari “Will to Power”. Dengan
demikian, suatu konsep “Will to Power”
dapat menjadi tolak ukur untuk memahami motif suatu tindakan sosial yang
dilakukan oleh seseorang dalam mencapai tujuan tertentu.
Konsep kehendak untuk berkuasa
memang bersifat ambigu, dan mengundang banyak tafsiran. Di satu sisi kehendak
untuk berkuasa adalah intisari filsafat Nietzsche, yang mencakup sikap
merayakan hidup dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan keberpihakan
ada energy-energi mabuk khas Dionysian yang selama ini ditekan oleh agama dan
moral tradisional. Di sisi lain konsep itu juga bisa dilihat sebagai simbol
dari kritiknya terhadap modernitas, yang dianggap telah menyempitkan kekayaan
diri manusia semata pada akal budinya, dan telah memasung manusia menjadi
subyek yang patuh pada tata hukum dan moral yang mengikat daya-daya hidupnya.
Nietzsche ingin membongkar kemunafikan manusia modern, yang walaupun merindukan
dan menghasrati kekuasaan, berpura-pura menolaknya, karena alasan-alasan moral.
Penolakan ini menciptakan ketegangan di dalam diri manusia, karena ia sedang
melawan dorongan alamiahnya sendiri. Ia menolak kekuasaan namun menghasratinya.
Tegangan yang tak terselesaikan ini menghasilkan kemunafikan-kemunafikan yang
amat gampang ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Nietzsche
mengajak kita untuk menerima diri kita apa adanya, tidak menolak atau bahkan
mengutuk, apa yang sesungguhnya merupakan dorongan alamiah kita sebagai
manusia, yakni kekuasaan dengan penerimaan semacam ini, kekuasaan tidak lagi
menjadi destruktif, tetapi bisa didorong sebagai kekuatan untuk mencipta.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar