Rabu, 05 Juli 2017

Hakekat Manusia Menurut Søren Aabye Kierkegaard



Søren Aabye Kierkegaard (5 Mei 1813-11 November 1855) adalah seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme. Kierkegaard menjembatani jurang yang ada antara filsafat Hegelian dan apa yang kemudian menjadi Eksistensialisme. Kierkegaard terutama adalah seorang kritikus Hegel pada masanya dan apa yang dilihatnya sebagai formalitas hampa dari Gereja Denmark. Filsafatnya merupakan sebuah reaksi terhadap dialektik Hegel.

Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi serta perasaan individu ketika diperhadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi eksistensial. Karena ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan menggunakan berbagai nama samaran, yang seringkali mengomentari dan mengkritik karya-karyanya yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama samaran lain, sangatlah sulit untuk membedakan antara apa yang benar-benar diyakini oleh Kierkegaard dengan apa yang dikemukakannya sebagai argumen dari posisi seorang pseudo-pengarang. Ludwig Wittgensteinberpendapat bahwa Kierkegaard "sejauh ini, adalah pemikir yang paling mendalam dari abad ke-19".

Riwayat Hidup

Søren Kierkegaard dilahirkan dalam sebuah keluarga kaya di Kopenhagen, ibukota Denmark. Ayahnya, Michael Pedersen Kierkegaard, adalah seseorang yang sangat saleh. Ia yakin bahwa ia telah dikutuk Tuhan, dan karena itu ia percaya bahwa tak satupun dari anak-anaknya akan mencapai umumr melebihi usia Yesus Kristus, yaitu 33 tahun. Ia percaya bahwa dosa-dosa pribadinya, seperti misalnya mengutuki nama Allah pada masa mudanya dan kemungkinan juga menghamili ibu Kierkegaard di luar nikah, menyebabkan ia layak menerima hukuman ini. Meskipun banyak dari ketujuh anaknya meninggal dalam usia muda, ramalannya tidak terbukti ketika dua dari mereka melewati usia ini. Perkenalan dengan pemahaman tentang dosa pada masa mudanya, dan hubungannya dari ayah dan anak meletakkan dasar bagi banyak karya Kierkegaard (khususnya Takut dan Gentar). Ibunda Kierkegaard, Anne Sørensdatter Lund Kierkegaard, tidak secara langsung dirujuk dalam buku-bukunya, meskipun ia pun mempengaruhi tulisan-tulisannya di kemudian hari. Meskipun sifat ayahnya kadang-kadang melankolis dari segi keagamaan, Kierkegaard mempunyai hubungan yang erat dengan ayahnya. Ia belajar untuk memanfaatkan ranah imajinasinya melalui serangkaian latihan dan permainan yang mereka mainkan bersama.

Ayah Kierkegaard meninggal dunia pada 9 Agustus 1838 pada usia 82 tahun. Sebelum meninggal dunia, ia meminta Søren agar menjadi pendeta. Søren sangat terpengaruh oleh pengalaman keagamaan dan kehiudpan ayahnya dan merasa terbeban untuk memenuhi kehendaknya. Dua hari kemudian, pada 11 Agustus, Kierkegaard menulis: "Ayah meninggal dunia hari Rabu. Saya sungguh berharap bahwa ia dapat hidup beberapa tahun lebih lama lagi, dan saya menganggap kematiannya sebagai penghorbanan terakhir yang dibuatnya karena cinta kasihnya kepada saya; ... ia meninggal karena saya agar, bila mungkin, saya masih dapat menjadi sesuatu. Dari semua yang telah saya warisi daripadanya, kenangan akan dia, potretnya dalam keadaan yang sangat berbeda (transfigured) ... sungguh berharga bagi saya, dan saya akan berusaha untuk melestarikan (kenangannya) agar aman tersembunyi dari dunia."

Kierkegaard masuk ke Sekolah Kebajikan Warga, memperoleh nilai yang sangat baik dalam bahasa Latin dan sejarah. Ia melanjutkan pelajarannya dalam bidang teologi di Universitas Kopenhagen, namun sementara di sana ia semakin tertarik akan filsafat dan literatur. Di universitas, Kierkegaard menulis disertasinya, Tentang Konsep Ironi dengan Referensi Terus-Menerus kepada Socrates, yang oleh panel universitas dianggap sebagai karya yang penting dan dipikirkan dengan baik, namun agak terlalu berbunga-bunga dan bersifat sastrawi untuk menjadi sebuah tesis filsafat. Kierkegaard lulus pada 20 Oktober 1841 dengan gelar Magistri Artium, yang kini setara dengan Ph.D. Dengan warisan keluarganya, Kierkegaard dapat membiayai pendidikannya, ongkos hidupnya dan beberapa penerbitan karyanya.

Sebuah aspek penting dari kehidupan Kierkegaard (biasanya dianggap mempunyai pengaruh besar dalam karyanya) adalah pertunangannya yang putus dengan Regine Olsen (1822 - 1904). Kierkegaard berjumpa dengan Regine pada 8 Mei 1837 dan segera tertarik kepadanya. Begitu pula dengan Regine. Dalam jurnal-jurnalnya, Kierkegaard menulis tentang cintanya kepada Regine:

Engkau ratu hatiku yang tersimpan di lubuk hatiku yang terdalam, dalam kepenuhan pikiranku, di sana ... ilahi yang tak dikenal! Oh, dapatkah aku sungguh-sungguh mempercayai dongeng-dongeng si penyair, bahwa ketika seseorang melihat sebuah obyek cintanya, ia membayangkan bahwa ia sudah pernah melihatnya dahulu kala, bahwa semua cinta seperti halnya semua pengetahuan adalah kenangan semata, bahwa cinta pun mempunyai nubuat-nubuatnya di dalam diri pribadi. ... tampaknya bagiku bahwa aku harus memiliki kecantikan dari semua gadis agar dapat menandingi kecantikanmu; bahwa aku harus mengelilingi dunia untuk menemukan tempat yang tidak kumiliki dan yang merupakan misteri terdalam dari keseluruhan keberadaanku yang mengarah ke depan, dan pada saat berikutnya engkau begitu dekat kepadaku, mengisi jiwaku dengan begitu dahsyat sehingga aku berubah (transfigured) bagi diriku sendiri, dan merasakan sungguh nikmat berada di sini.
— Søren Kierkegaard, Journals (2 Februari 1839)

Pada 8 September 1840, Kierkegaard resmi meminang Regine. Namun, Kierkegaard segera merasa kecewa dan melankolis tentang pernikahan. Kurang dari setahun setelah pinangannya, ia memutuskannya pada 11 Agustus 1841. Dalam jurnal-jurnalnya, Kierkegaard menyebutkan keyakinannya bahwa sifat "melankolis"nya membuatnya tidak cocok untuk menikah; tetapi motif sebenarnya untuk memutuskan pertunangannya itu tetap tidak jelas. Biasanya diyakini bahwa keduanya memang sangat saling mencintai, barangkali bahkan juga setelah Regine menikah dengan Johan Frederik Schlegel (1817–1896), seorang pegawai negeri terkemuka (jangan dikacaukan dengan filsuf Jerman Friedrich von Schlegel, (1772-1829) ). Pada umumnya hubungan mereka terbatas pada pertemuan-pertemuan kebetulan di jalan-jalan di Kopenhagen. Namun, beberapa tahun kemudian, Kierkegaard bahkan sampai meminta izin suami Regine untuk berbicara dengan Regine, namun Schlegel menolak.

Tak lama kemudian, pasangan itu berangkat meninggalkan Denmark, karena Schlegel telah diangkat menjadi Gubernur di Hindia Barat Denmark. Pada saat Regine kembali ke Denmark, Kierkegaard telah meninggal dunia. Regine Schlegel hidup hingga 1904, dan pada saat kematiannya, ia dikuburkan dekat Kierkegaard di Pemakaman Assistens di Kopenhagen.

Kierkegaard banyak sekali mempengaruhi literatur abad ke-20. Tokoh-tokoh yang sangat dipengaruhi oleh karya-karyanya termasuk Walker Percy, W. H. Auden, Franz Kafka, David Lodge, dan John Updike.

Kierkegaard juga sangat berpengaruh terhadap psikologi dan ia lebih kurang merupakan pendiri dari psikologi Kristen dan psikologi dan terapi eksistensial. Para psikolog dan terapis eksistensialis (seringkali disebut "humanistik") termasuk Ludwig Binswanger, Victor Frankl, Erich Fromm, Carl Rogers, dan Rollo May. May mendasarkan bukunya The Meaning of Anxiety (Makna Kecemasan) pada karya Kierkegaard Konsep tentang Kecemasan. Karya sosiologis Kierkegaard Dua Zaman: Zaman Revolusi dan Masa Kinimemberikan kritik yang menarik terhadap modernitas. Kierkegaard juga dilihat sebagai pendahulu penting dari pasca-modernisme. 

Kierkegaard meramalkan bahwa setelah kematiannya ia akan terkenal, dan membayangkan bahwa karyanya akan dipelajari dan diteliti dengan intensif. Dalam jurnal-jurnalnya, ia menulis:

Apa yang dibutuhkan zaman ini bukanlah seorang jenius orang jenius sudah cukup banyak, melainkan seorang martir, yang untuk mengajar manusia agar taat hingga mati, ia sendiri akan taat hingga mati. Apa yang dibutuhkan zaman ini adalah kebangkitan. Dan karena itu suatu hari kelak, bukan hanya tulisan-tulisan saya, tetapi juga seluruh hidup saya, seluruh misteri yang membangkitkan tanda tanya tentang mesin ini akan dipelajari dan dipelajari terus. Saya tidak akan pernah melupakan bagaimana Tuhan menolong saya dan karena itu adalah harapan saya terakhir bahwa segala sesuatunya adalah untuk kemuliaan-Nya
— Søren Kierkegaard, Journals (20 November 1847)

Latar Belakang Pemikiran Søren Kierkegaard

Cetusan eksistensialisme yang digaungkan Søren Kierkegaard bertitik tolak dari bangunan filsafat idealisme Jerman. Eksistensialisme merupakan suatu gugatan terhadap filsafat idealisme yang cenderung menguniversalkan persoalan realitas. Dan mengabaikan eksistensi individu. Dalam perjalanan karier filsafatnya, Kierkegaard sebenarnya mengagumi idelaisme Hegel, karena Hegel dengan Idealismenya mampu menjawab persoalan yang sangat mendalam dengan jawaban yang sangat mendalam dan menyeluruh tentang sejarah umat manusia, yang pada waktu itu sama sekali baru (jawaban Hegel yakni Idealisme).

Tetapi perjalanan hidup Kierkegaard yang pahit dan tragis, pada akhirnya membawanya pada kesadaran akan pentingnya mencari jawaban atas persoalan-persoalan hidup yang lebih konkret dan factual, yang dialami dalam kehidupan sehari-hari oleh setiap manusia. Persoalan-persoalan seperti; kesenangan, kebebasan, kecemasan, penderitaan, kebahagiaan, kesepian, harapan, dan sebagainya adalah persoalan hidup yang harus dicari jawaban atau maknanya. Persoalan seperti itu tidak mungkin dapat diterangkan oleh —atau dapat dijelaskan dalam kerangka pemikiran— Hegel. Idalisme Hegel terlampau abstrak, “tidak menapak ke bawah”, melupakan kehidupan manusia dalam kesehariannya. Kehidupan konkret dan factual manusia serta permasalahannya yang mengemuka, luput dari jangkauan idealisme Hegel.

Kierkegaard bahkan melihat Hegelianisme merupakan ancaman besar terhadap individu, karena individu dilihat tidak lebih dari sekedar titik atau percikan dalam sejarah. Sehingga Kierkegaard hadir dengan epistemologinya untuk mendobrak “abstraksionisme” Hegel yang memutlakan Idea abstrak atau Roh sebagai kenyataan. Bagi Kierkegaard, Hegel mereduksi personalitas atau eksistensi manusia yang konkrit ke dalam realitas yang abstrak. Padahal menurutnya, manusia tidak pernah hidup sebagai “Aku umum” tetapi “Aku Individual” dan tidak diasalkan kepada yang lain. Hanya manusia yang bereksistensi. Eksistensi bukanlah suatu “ada” yang statis, melainkan suatu “menjadi” yang di dalamnya terkandung suatu perpindahan yaitu dari “kemungkinan” ke “kenyataan”.

Eksistensi Manusia menjadi Pribadi Sempurna Kierkegaard

Kierkegaard adalah filsuf pertama yang memperkenalkan istilah “eksistensi” menurut pengertian yang dipakai di abad ke-20 dalam aliran yang disebut eksistensialisme. Konsep eksistensi ini sebagai bentuk negasi asumsi Hegelian bahwa kebenaran adalah totalitas obyektif, sementara bagi Kierkegaard, kebenaran adalah individu yang bereksistensi. Dalam The Point of View, dia menegaskan: “kawanan– bukan kawanan ini atau itu, kawanan yang sekarang masih hidup atau yang sudah mati, kawanan bangsa yang ternista atau terunggul, bangsa yang kaya atau miskin, dstnya. Kawanan dalam pengertian ini adalah ketidakbenaran, dengan alasan bahwa kawanan itu membuat individu sama sekali tak bersalah dan tak bertanggung jawab. Atau sekurang-kurangnya memperlemah rasa tanggung jawabnya dengan merduksinya ke dalam sebuah kelompok”.

Istilah “eksistensi” hanya dapat diterapkan pada manusia, atau lebih tepat lagi pada individu konkret. Hanya aku yang konkret ini yang bereksistensi, maka aku tidak bisa direduksi ke realitas-realitas lain, entah system ekonomi, Idea, masyarakat, dll. Bereksistensi bukan berarti hidup menurut pola-pola abstrak dan mekanis melainkan terus-menerus mengadakan pilihan-pilihan baru secara personal dan subjektif. Hanya aku konkret yang bisa mengambil keputusan eksistensial itu, dan tidak ada orang lain yang dapat menggantikan tempatku untuk bereksistensi. Dengan kata lain, eksistensi adalah “diri autentik”.

Manusia itu “eksistensi”. Bereksistensi bagi Kierkegaard adalah merealisasikan diri, mengikat diri dengan bebas, mempraktekkan keyakinannya, dan mengisi kebebasannya. Menurut Kierkegaard, pertama-pertama yang penting bagi manusia adalah keadaannya sendiri atau eksitensinya sendiri. Eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan yang dilakukan tiap orang bagi dirinya sendiri; berani mengambil keputusan yang menentukan hidup. Adapun tahapan eksistensi menurut Kierkegaard adalah, sbb:

  • Tahap Estetis

Pada tingkatan ini, sorang manusia berkelakuan menurut gerak hati (impulses) dan emosi atau perasaan-perasaan. Manusia dikuasai oleh naluri-naluri seksual (libido), oleh prinsip-prinsip kesenangan yang hedonistic, dan biasanya bertindak menurut suasana hati. Manusia model ini tidak mempunyai komitmen dan keterlibatan apapun dalam hidupnya. Ia tidak mempunyai passion dalam menyikapi dan menindaklanjuti suatu persoalan. Jika manusia hidup secara hedonis dan tidak mempunyai passion atau antusiasme dan keterlibatan, lalu apa yang sebenarnya terjadi dalam jiwa mereka? Keputusasaan! Manuisa ini tidak mempunyai pegangan yang pasti dan niscaya, yang bisa dijadikan sebagai tambatan yang kokoh dalam menjalankan hidupnya. Tidak ada cinta, dan tidak ada ketertarikan untuk mengikatkan diri pada suatu perkawinan. Manusia estetis juga adalah manusia yang hidup tanpa jiwa. Manusia estetis mengetahui tiadanya standar-standar moral universal. Ia tidak memiliki iman agama yang khusus. Motivasi utamanya ialah hasrat atau keinginan untuk menikmati bermacam-macam kesenangan menurut perasaan. Manusia bisa tetap eksis pada tingkatan ini karena ia dengan sengaja telah memilih estetis. Atau ia mau maju ke level yang baru, melalui suatu transisi di mana hal ini tidak dapat ditempuh dengan berpikir saja tetapi harus dengan perbuatan keputusan atau dengan suatu tindakan juga dengan suatu komitmen.

  • Tahap Etis

Individu mulai menerima kebajikan-kebajikan moral dan memilih untuk mengikatkan diri padanya. Orang mulai menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Di dalam tahap ini sudah ada passiondalam menjalani kehidupan ini berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang dipilihnya secara bebas. Hidup manusia etis bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Akar kehidupannya ada dalam dirinya sendiri dan pedoman hidupnya adalah nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Ia akan menolak segala kuasa di luar dirinya yang tidak sesuai dengan prinsip yang dipegang dirinya. Peran individu dan otonomitas sangat dihargainya. Ia akan menerima kebenaran sejauh sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang dipegangnya. Dan bagi Kierkegaard, orang yang hidup pada level ini masih belum sempurna. Realiatas tempat ia menceburkan diri adalah baru realitas mundane, realitas fana. Sehingga sesungguhnya ia masih harus melalui satu tahap terakhir yang paling sempurna, yakni tahap religius.

  • Tahap Religius

Keotentikan manusia sebagai subjek atau “aku” baru akan tercapai kalau individu, dengan “mata tertutup”, lompat dan meleburkan diri dalam realitas Tuhan. Lompatan ini memang lebih sulit dari pada lompatan dari tahap estetis menuju tahap etis. Alasan utama dari kesulitan yang ada adalah tidak diperlukan pertimbangan rational. Yang diperlukan dan merupakan hal yang paling utama dalam melakukan lompatan ini adalah pertimbangan yang sangat subjektif, yakni dengan iman. Hanya manusia yang memiliki iman yang mampu untuk memasuki tahap ini. Tetapi justru hal inilah yang menurut Kierkegaard, manusia menjadi manusia dan berada sebagai “ada” yang sesungguhnya, yang berbeda dengan keberadaan “ada-ada” yang lain. Saat manusia hidup dalam realitas subjektif transenden ini, dia akan hidup hanya mengikuti jalan Tuhan dan tidak lagi terikat pada nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal (tahap etis) maupun pada tuntutan pribadi yang mengikuti tuntutan zaman (tahap estetis). Orang yang memilih untuk percaya akan tunduk, secara terus menerus, secara akrab ada dalam kehadiran suatu personal yang mahakuasa, mahatahu. Yang lebih penting dari apayang dipercaya adalah bagaimana itu dipercaya- yakni dengan sepenuh hati, dengan “ketakutan dan gemetaran”.

Karya-Karya Søren Kierkegaard
  1. Konsep Ironi (Om Begrebet Ironi med stadigt Hensyn til Socrates)
  2. Ini/Itu (Enten - Eller)
  3. Takut dan Gentar (Frygt og Bæven)
  4. Repetisi (Gjentagelsen)
  5. Fragmen Filsafat (Philosophiske Smuler)
  6. Konsep tentang Kecemasan (Begrebet Angest)
  7. Tahap-tahap Jalan Kehidupan (Stadier paa Livets Vei)
  8. Menyimpulkan Catatan Penutup yang Tidak Ilmiah bagi Fragmen-fragmen Filsafat(Afsluttende uvidenskabelig Efterskrift)
  9. Wacana Membangun dalam Berbagai Roh (Opbyggelige Taler i forskjellig Aand)
  10. Karya Cinta Kasih (Kjerlighedens Gjerninger)
  11. Wacana Kristen (Christelige Taler)
  12. Nestapa Hingga Mati (Sygdommen til Døden)
  13. Praktik dalam Kekristenan (Indøvelse i Christendom)
SUMBER